Mudik tahun ini buatku terasa sedikit perbedaannya dibanding tahun lalu.
Tahun ini, aku sudah lebih siap untuk nyupir. Bahkan sejak sebelum datang pun, aku sudah rencana untuk menyupir Jakarta-Bandung-Jakarta.
Berangkat ke Bandung kami memakai 2 mobil. Satu mobil Harrier milik mbak Winny, disupiri oleh Pak Alim, supir keluarga mereka. Satu mobil lagi adalah mobil Livina kepunyaan papa dan mama yang aku kemudikan. Sebetulnya sih rombongan kami tidak banyak, hanya 8 orang. Cukup sih kalo pake 1 mobil, apalagi kebanyakan kan masih anak-anak. Tapi kebayangnya bakalan gag nyaman. Pasti penuh sesak sekali. Belum pula ditambah kopor-kopor. Jadilah akhirnya diputuskan untuk pakai 2 mobil. Keluar uang lebih memang, tapi demi kenyamanan kan?
Pengalamanku menyupir keluar kota pertama kalinya? Seruuuu!!
Tahun lalu aku memang sudah pernah mengemudi mobil di dalam kota, terjauh adalah dari Cengkareng ke Tanjung Barat Indah.
Menjelang perjalanan ke Bandung, aku sudah latihan menyupir beberapa kali. Rutenya memang pendek, dari rumah ke Pejaten Village. Atau juga dari rumah ke salon Inan di Rawamangun. Yang lumayan seru tuh yang dari Inan ke rumah karena tepat jam pulang kerja, hujan, dan memang jalur yang lumayan padat. Tapi alhamdulillah selamat… Prinsipku untuk nyupir di sini memang bertolak belakang dengan di Australia. Di sana berlaku untuk saling mengalah, di sini lebih tepat untuk “Jangan Mau Kalah”. Hahaha…!!
Saat perjalanan ke Bandung, aku selalu berusaha membuntuti Harriernya pak Alim. Saat masuk kilometer 80-an di tol Padaleunyi, langit mulai mendung. Beberapa saat kemudian, aku lihat pak Alim pindah jalur ke yang paling kiri sambil memberi tanda lampu sen kiri. Aku pikir ada apa gerangan, mungkin Udin atau Mareeam *yang memang ada di mobil tersebut* pusing dan muntah. Sebelumnya memang Udin sempat agak mual, tapi belum sempat muntah. Aku pikir pak Alim bakal berhenti, tapi ternyata tidak. Tiba-tiba pak Alim membuka jendela lalu memberi isyarat bahwa lampu besarku nyala.
Ya ampuuuunnnn.. Ternyata itu penyebabnya! Hahaha.
Aku memang terbiasa, di saat langsit mendung, walaupun tidak sedang hujan, aku pasti otomatis menyalakan lampu besar demi keamanan. Ternyata di sini bukan hal yang lazim. Menyalakan lampu besar di siang bolong malah dianggap mengganggu.
Lucunya lagi, selang beberapa lama kemudian hujan pun turun dengan derasnya. Semua mobil mulai menyalakan lampu besar, tak terkecuali pak Alim. Selain lampu besar, jugaaaaa… Hazzard lights!! Hahaha… Baru tahuuuuuu… Ternyata di sini begitu yah, saat hujan deras, walaupun keadaan tidak sedang ‘emergency’, tapi lampu darurat/hazzard lights dinyalakan. Oalaaaaah… Baru ngeh sayaaaaa…
—————————————–
PS: Memang, setelah berbincang dengan beberapa orang di sini, pemakaian hazzard lights di Indonesia sebetulnya lumayan salah kaprah. Menurut aturan sesungguhnya, hazzard lights boleh dinyalakan saat kendaraan dalam keadaan genting/darurat dan harus dalam posisi berhenti, bukan dalam posisi melaju.
Seneng baca-baca lagi cerita mba Astri. Btw, mengenai hazard light sebenarnya menyalakan hazard light waktu hujan itu kan salah. Karena mobil di sekitar kita jadi tidak tau kalau kita mau manuver ke kiri atau kanan. Itu di Indonesia aja yang salah kaprah mba (sama seperti menyalakan hazard light di terowongan).
hahaha. kalo kata suamiku malah bahaya sebenernya nyalakan lampu hazzard. kalo bener2 ada emergency malah ga tau. dipikir hanya karna ujan deres aja. padahal memang ada emergency misal tabrakan
inan salon rawamangun aka michika deket rumah aku mbaak…
waah, nggak nyangka mbak astri yang femes sampe juga disana
Salam kenal Mba Astri.. aku seneng deh baca blog nya so inspiring… just share info aja, Regarding menyalahkan lampu hazard di waktu hujan actually pihak jasamarga sudah menginformasikan via spanduk dan radio2 kepada pengguna kendaraan untuk tidak Menyala – kan karena berbahaya but seem most of pengendara belum banyak yang tau…
hahahah benaaar, pantang ganggu orang duluan, tapi kalau diganggu orang, jangan mau kalah Tli!